Akal Budi Jangan Disia-siakan: Cara Berpikir Filsafat di Era Viral dan Dangkal

Table of Contents

Akal Budi Jangan Disia-siakan: Cara Berpikir Filsafat di Era Viral dan Dangkal

Ilustrasi Akal Budi dan Filsafat

Gunakan akal budimu, atau kamu akan kehilangan masa depanmu.

Di era yang dipenuhi konten viral dan informasi instan, akal budi seringkali disingkirkan. Dr. Fahruddin Faiz dalam diskusinya bersama Gita Wirjawan di Endgame #110 menegaskan betapa pentingnya berpikir mendalam, bijak, dan kritis sebagai fondasi kehidupan manusia.

Menghidupkan Filsafat: Warisan Peradaban yang Terlupakan

Filsafat sebagai Pondasi Kejayaan Islam

Peradaban Islam masa Abbasiyah jaya karena terbuka pada ilmu dan filsafat. Ilmuwan Yahudi, Kristen, bahkan Atheis diundang mengajar di Baitul Hikmah. Buku-buku dibayar setara beratnya dengan emas. Hari ini, ironi terjadi: filsafat dicurigai, sementara kejayaannya dipuja.

Socrates dan Keberanian Berpikir Bebas

Socrates dianggap membahayakan negara karena memancing anak muda untuk bertanya dan berpikir. Ia dieksekusi karena menantang doktrin dan membuka ruang dialog. Ini menjadi simbol bahwa berpikir bebas tidak selalu diterima, tapi tetap penting untuk kemajuan.

Krisis Akal di Era Digital

Viralitas Menggeser Intelektualitas

Hari ini, popularitas lebih penting daripada kebenaran. Kita tidak merasa "eksis" jika tidak viral. Akibatnya, anak-anak muda lebih fokus pada joget TikTok daripada membaca atau belajar filsafat.

Dangkal dalam Ilmu, Terjebak dalam Label

Informasi ada di mana-mana, tapi kebijaksanaan langka. Anak SMP bisa bicara "wahdatul wujud" dari YouTube, tapi tanpa fondasi berpikir yang memadai. Kita kehilangan rasa ingin tahu yang sehat dan tataran keilmuan yang benar.

Mengembalikan Akal Budi dan Etos Ilmiah

Cinta pada Kebijaksanaan, Bukan Sekadar Kebenaran

Filsafat mengajarkan berpikir benar dan cinta pada kebijaksanaan. Kebenaran tanpa cara penyampaian yang tepat justru bisa jadi racun. Menyampaikan kebenaran dengan cara yang salah, ibarat mencuci baju dengan air kencing.

Literasi dan Kesadaran Diri

  • Setiap orang harus sadar batas kemampuannya.
  • Jangan asal berbicara soal agama, filsafat, atau ilmu lainnya jika bukan ahli.
  • Sebarkan konten positif di media sosial sebagai bentuk perlawanan terhadap banjir konten dangkal.

Belajar dari Sejarah dan Menghidupkan Wawasan

Iqra: Bacalah Realitas, Bukan Hanya Teks

"Iqra" bukan hanya tentang membaca Al-Qur’an, tapi juga membaca realitas dan fenomena hidup. Dr. Faiz menyarankan agar kajian di masjid tidak hanya tentang fikih atau tasawuf, tapi juga filsafat, psikologi, bahkan fisika.

Undzur Ma Qola, Wala Tandzur Man Qola

Jangan lihat siapa yang berbicara, tapi lihat apa yang dibicarakan. Ini menjadi obat dari polarisasi dan labelisasi yang mematikan dialog. Kita terlalu sering kehilangan hikmah karena menolak orang hanya karena berbeda label.

Menutup Pintu Berpikir = Menutup Masa Depan

Dr. Faiz menegaskan bahwa anugerah terbesar manusia adalah akal budi. Ketika kita menolak berpikir, kita menolak untuk tumbuh. Dalam bahasa filsafat: Berhentilah mengejar yang viral, mulailah mengejar yang bernilai.

Langkah-Langkah Praktis Menghidupkan Akal Budi

  1. Biasakan bertanya dan berpikir mendalam, tidak asal ikut tren.
  2. Beri ruang di rumah, sekolah, dan tempat ibadah untuk diskusi lintas ilmu.
  3. Ajari anak-anak berpikir tataran: pelajari dasar sebelum melompat ke atas.
  4. Gunakan media sosial untuk menyebarkan nilai, bukan sekadar mencari perhatian.

Kesimpulan

Masa depan bangsa tidak akan ditentukan oleh siapa yang paling viral, tapi oleh siapa yang paling bijak dan berpikir mendalam. Mari hidupkan akal budi, peluk filsafat, dan tanamkan literasi dalam generasi kita.

Apa yang ingin kamu lakukan hari ini agar akal budimu tidak disia-siakan? Yuk share pendapatmu di kolom komentar!

Bagikan artikel ini ke sahabatmu, agar semakin banyak yang sadar pentingnya akal budi.

Label: Self Development

Referensi

Post a Comment